Belakangan ini isu militer internasional yang
muncul adalah ujicoba pelayaran pertama dari kapal induk milik China
yang merupakan bekas dari bangkai kapal induk Uni Soviet. Kontan hal ini
menyebabkan negara-negara di sekitar China ikut cemas akan kebangkitan
angkatan laut China ini tak terkecuali juga Amerika Serikat (AS).
Meskipun China sendiri sudah menyatakan bahwa kapal induk mereka
hanyalah sebuah riset, banyak pihak meyakini bahwa China akan
mengembangkan beberapa kapal induk lagi untuk kepentingan militernya.
Bahkan beberapa analis pernah menyatakan, kapal induk China kemungkinan
dijadikan sebagai bahan untuk mengintimidasi negara-negara di sekitar
laut China Selatan yang angkatan lautnya dianggap lemah seperti Vietnam
atau Indonesia.
Dari beberapa pemberitaan kapal induk China di
media online, saya sering tergelitik dengan respon para komentator yang
secara spontan menyatakan bahwa kita perlu sebuah kapal induk atau
komentar lain yang menunjukkan sikap pesimistis karena TNI AL kita tak
memiliki kapal induk. Lantas, apakah benar kita memang butuh sebuah
kapal induk?
Filosofi
Kapal induk atau Aircraft Carrier merupakan
kapal perang yang berfungsi sebagai pengangkut pesawat tempur dan awak
kapal dalam jumlah besar sebagai pendukung operasi militer. Kapal Induk
juga menjadi pusat komando operasi dan memberikan semacam intimidasi
bagi lawan. Kapal induk mulai digunakan pertama kali oleh Angkatan Laut
Inggris pada Perang Dunia I dan saat ini, dominasi kapal induk dipegang
oleh AS yang memiliki 11 kapal induk yang aktif beroperasi di seluruh
dunia. Lantas, kenapa hanya AS saja yang mampu mengembangkan kapal induk
secara pesat?
Diawali dengan pergerakan kapal induk Jepang yang
mematikan di Lautan Pasifik (terbukti dengan serangan Pearl Harbour), AS
mulai mempertimbangkan perlunya kapal induk sebagai “markas berjalan”
yang fleksibel sesuai dengan medan perang saat itu. Pesawat tempur saat
itu tidak memiliki kemampuan jelajah yang lebih tinggi dibanding pesawat
tempur modern sedangkan medan pertempuran Perang Dunia II ada di benua
Eropa dan Afrika (Front Barat) dan Asia (Front Timur), ditambah lagi
penempatan pesawat tempur di darat dirasa kurang aman meskipun area
tersebut milik pihak kawan. Untuk itu pengembangan kapal induk setelah
perang dunia II menjadi salah satu fokus utama militer AS. Faktor ini
makin diperkuat oleh timbulnya perang dingin dengan Uni Soviet dan
konflik-konflik yang terjadi di berbagai negara akibat cold war tadi.
Letak geografis atas area-area yang berkonflik menyulitkan AS dalam
mengoordinasi pasukannya. AS butuh suatu “markas” yang fleksibel dan
sekaligus menjadi pusat komando operasi. Kriteria tersebut dipecahkan
dengan pengembangan kapal induk.
Program pengembangan kapal induk milik AS juga
tak mampu diimbangi oleh negara-negara lain karena berbagai faktor.
Faktor yang utama mungkin adalah faktor ekonomi karena setelah Perang
Dunia II berakhir, hanya AS dan Uni Soviet saja yang memiliki kekuatan
ekonomi cukup meyakinkan. Inggris, Prancis dan negara-negara blok barat
lainnya yang mengalami kemenangan perang tetap saja mengalami kesulitan
ekonomi karena negaranya hancur dan masih harus mengatasi pergolakan
yang terjadi di daerah jajahan mereka. Uni Soviet sendiri justru lebih
fokus pada pengembangan kapal selam dibanding kapal induk (sebut saja
kapal selam nuklir kelas Typhoon yang menjadi legenda saat perang dingin).
Strategi AS dalam pengembangan kapal induk
tampaknya menuai hasil terutama terhadap negara-negara yang mengalami
konflik. Sebut saja konflik Yugoslavia, Perang Irak, dan Perang
Afghanistan, skuadron kapal induk AS selalu dilibatkan dan hasilnya
mampu mengatasi konflik dan meraih kemenangan.
Hingga saat ini, ada 22 kapal induk dari 10 negara
beroperasi di seluruh dunia meskipun tak semuanya bertugas dalam operasi
militer. Kapal induk milik Rusia (bukan Uni Soviet), Spanyol, dan
Brasil masih minim pengalaman dalam operasi militer, bahkan kapal induk
milik Thailand “hanya” difungsikan sebagai kapal bantuan bencana alam.
Mahalnya kapal induk
Mau tahu berapa biaya dari sebuah kapal
induk? Sebagai perbandingan, disini saya akan menggunakan salah satu
kapal induk AS dari kelas Nimitz. Kelas Nimitz merupakan kapal induk
terbesar di dunia dengan bobot di atas 100.000 ton dan panjang mencapai
333 meter. Nimitz mampu membawa 90 pesawat tempur dan melaju dengan
kecepatan maksimal 54km/jam. Dengan mengandalkan nuklir sebagai bahan
bakar utamanya, Nimitz mampu beroperasi selama 20 tahun tanpa perlu di recharge.
Pembuatan satu kapal kelas Nimitz menelan biaya hingga US$4,5 miliar
atau sekitar Rp40 triliun! Itu baru kapalnya, jika kita tambah dengan
“isinya” yakni 90 pesawat tempur, andaikan saja pesawat tempur yang
diangkut adalah tipe F/A-18E/F Super Hornet (standar pesawat tempur yang
diangkut kapal induk AS) dan harga satuannya adalah US$55 juta, maka
totalnya adalah $4,95 miliar atau sekitar Rp44,5 triliun! Jadi totalnya
adalah Rp84,5 triliun untuk sebuah kapal induk! (ini juga belum termasuk
awak dan muatan lainnya)
Mau tahu anggaran belanja pertahanan negara kita?
RAPBN 2010 menunjukkan bahwa anggaran militer kita “hanya” sekitar Rp20
triliun atau 2% total belanja negara! Anggaran militer China untuk tahun
ini adalah US$91,7 miliar atau sekitar Rp825,3 triliun (hampir 80% dari
anggaran belanja total pemerintah kita). Jauh sekali bukan.
Selain mahal, yang perlu dipikirkan lagi adalah
waktu pengembangan untuk sebuah kapal induk. Kapal induk China yang
merupakan upaya menghidupkan kembali kapal induk bekas dari Ukraina saja
membutuhkan waktu hingga delapan tahun untuk mampu berlayar seperti
saat ini. Untuk persiapan dari kapal induk yang telah jadi (launched) hingga siap bertugas (commissioned)
rata-rata membutuhkan waktu 2-3 tahun. Jadi prediksi saya untuk kapal
induk China mulai dari upaya penghidupan kembali bangkai Varyag hingga
siap bertugas butuh waktu sekitar 10 tahun! Itu tadi dengan metode
“copy-paste” bangkai kapal lain, coba bayangkan apabila dengan
pengembangan sendiri dari awal, mungkin butuh waktu yang lebih lama
lagi. Andaikan kita memiliki uang berlimpah dan mampu membeli sebuah
kapal induk milik AS, apakah AS bersedia merakitkannya untuk kita?
Jawabannya tentu saja tidak, AS tidak mungkin semudah itu memberikan
teknologinya ke negara lain. Mencari galangan kapal induk di negara
selain AS juga bukan alternatif yang bagus karena kapal induk buatan
mereka kurang bertenaga dan teknologinya masih relatif tertinggal
dibanding AS.
Kapal induk dibentuk untuk mampu mengarungi
derasnya Atlantik atau luasnya Pasifik, bukan hanya sekadar untuk
mengarungi Laut Jawa saja, apalagi cuma Selat Sunda. Sampai saat ini,
Indonesia, saya yakin tidak mempunyai konflik kepentingan yang harus
disikapi secara militer dengan negara manapun. Paling-paling hanya
perompak di perairan Somalia yang sebenarnya cukup dihadapi dengan
beberapa kapal perusak milik TNI AL. Sampai saat ini TNI AL kita masih
memiliki armada laut terkuat di ASEAN (No 14 di dunia), masih lebih
tinggi dibanding Vietnam (No. 37), Malaysia (No. 42) bahkan Thailand
yang memiliki kapal induk (No 18) [sumber disini].
Meskipun demikian, 66 armada laut kita saat ini masih belum cukup
mengawal seluruh perairan Indonesia. Pencurian ikan, perompakan hingga
penyelundupan narkoba melalui laut masih terjadi dan ini menunjukkan
armada laut kita masih perlu dibenahi. Angkatan laut di negara kepulauan
seperti Indonesia seharusnya dilengkapi armada laut yang
cepat dan tangkas. Kriteria tersebut ada pada kapal-kapal perang kelas
Frigate, Corvette atau Destroyer. Apabila pemerintah ingin
mengembangkan armada laut sebaiknya mempertimbangkan hal tersebut bukan
dengan memimpikan sebuah kapal induk yang menurut saya justru useless.
Tentunya pengembangan armada laut juga butuh dana, dan semoga anggota
DPR mau memperbesar anggaran militer kita karena (sayangnya) tanpa
mereka, alokasi dana untuk militer juga tak bisa ditingkatkan.
http://hankam.kompasiana.com/2011/08/21/apakah-indonesia-perlu-kapal-induk-388514.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar